Animated Text

Thursday 21 April 2011

Guru Pembelajar


Guru Matematika Pembelajar
Wahyu Kurniawan
09301241029
Pendidikan Matematika Subsidi 2009
Universitas Negeri Yogyakarta
A.      Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang tergolong istimewa. Banyak berbagai predikat yang diberikan untuk matematika. Matematika adalah dasar bagi ilmu-ilmu yang lain semisal fisika, akuntansi, ekonomi, kimia, dan sebagainya. Matematika menjadi mata pelajaran pokok di berbagai jenjang pendidikan. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang di-UAN-kan. Orang yang pandai dalam bidang matematika dianggap sebagai orang yang berkemampuan tinggi. Matematika mejadi mata pelajaran yang dianggap menakutkan dan menyulitkan bagi sebagian siswa. Orang cenderung berpikir tentang angka dan rumus ketika mendengar kata ‘matematika’.
Pendidikan di sekolah merupakan salah satu jalan pengenalan matematika. Matematika menjadi materi dalam pembelajaran pada pendidikan tingkat dasar, menengah dan tinggi. Ketika sekolah di Taman Kanak-kanak, matematika diajarkan sebagai perhitungan penjumlahan dan pengurangan dengan berbagai simbol. Saat di Sekolah Dasar, perkalian dan pembagian mulai dikenalkan, dilanjutkan dengan materi yang lebih kompleks di Sekolah Menengah Pertama.
Pendidikan dasar dan menengah pertama merupakan saat yang penting dalam proses pemahaman matematika. Siswa yang mulai tumbuh dan berkembang menjadi remaja sangat rentan dengan pengaruh stimulus di sekitarnya. Matematika merupakan mata pelajaran yang mengandalkan kemampuan otak kiri, yakni kemampuan berpikir logis. Jika guru matematika tidak memberikan penjelasan dan pemahaman yang memadai, siswa akan kesulitan menangkap maksud utama materinya. Siswa akan cenderung menghafalkan dan meniru seperti apa yang dilakukan gurunya. Siswa hanya akan melihat contoh, tidak mampu untuk memikirkan ide yang lain. Akibatnya bagi siswa yang memiliki kemampuan rata-rata atau kurang hanya akan tertekan dan persepsi bahwa matematika itu sulit atau guru matematika itu galak akan mulai muncul. Kepribadian siswa juga tidak akan terbentuk karena kondidi yang tertekan. Tingkat kecurangan dalam kegiatan sehari-hari (misal ulangan harian) tetap tinggi. Saat ujian nasional pun jawaban yang belum tentu kebenarannya juga banyak dicari siswa. Kompetensi dan pemahaman guru matematika terhadap matematika itu sendiri dan pembelajaran sangat berpengaruh terhadap minat, persepsi siswa terhadap matematika dan gurunya. Kepribadian siswa juga nantinya akan terbentuk sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan gurunya.
B.       Sejarah dan Peran Matematika
Berbagai benda ataupun ilmu-ilmu di dunia ini tidak langsung dikenal oleh masyarakat luas. Berbagai hal itu ditemukan oleh para penemu yang melakukan berbagai ujicoba, penelitian, pencarian, dan sebagainya. Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh orang-orang jaman dahulu, mulai dari yang sederhana hingga yang cukup kompleks. Rasa keingintahuan peneliti yang tinggi membuat matematika cepat berkembang.
Menurut Yusuf Kartanegara (2010) tulisan matematika terkuno yang telah ditemukan adalah Plimpton 322 (matematika Babilonia sekitar 1900 SM), Lembaran Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM). Semua tulisan itu membahas teorema yang umum dikenal sebagai teorema Pythagoras, yang tampaknya menjadi pengembangan matematika tertua dan paling tersebar luas setelah aritmetika dasar dan geometri.
Menurut Nurul Awaluddin (2008) universitas barat pertama adalah Akademia, didirikan pada tahun 387 SM oleh filsuf Yunani, Plato, dimana para siswanya diajari filsafat, matematika dan olahraga. Dari keterangan tersebut dapat diketahui jika matematika adalah mata kuliah yang paling tua. Matematika memiliki sejarah yang panjang dan juga menarik.
Menurut Ayuasnantia (2008) ada pendapat terkenal yang memandang matematika sebagai pelayan dan sekaligus raja dari ilmu-ilmu lain. Sebagai pelayan, matematika adalah ilmu dasar yang mendasari dan melayani berbagai ilmu pengetahuan lain. Sejak masa sebelum masehi, misalnya jaman Mesir kuno, cabang tertua dan termudah dari matematika (aritmetika) sudah digunakan untuk membuat piramida, digunakan untuk menentukan waktu turun hujan, dan sebagainya. Sebagai raja, perkembangan matematika tak tergantung pada ilmu-ilmu lain. Banyak cabang matematika yang dulu biasa disebut matematika murni, dikembangkan oleh beberapa matematikawan yang mencintai dan belajar matematika hanya sebagai hobi tanpa memperdulikan fungsi dan manfaatnya untuk ilmu-ilmu lain. Dengan perkembangan teknologi, banyak cabang-cabang matematika murni yang ternyata kemudian hari bisa diterapkan dalam berbagai ilmu pengetahuan data teknologi mutakhir. Matematika dapat digunakan dalam teknologi nuklir, konstruksi suatu bangunan, teknologi robo, konsep aerodinamis pesawat, dan sebagainya.
Secara umum, semakin kompleks suatu fenomena, semakin kompleks pula alat (dalam hal ini jenis matematika) yang melalui berbagai perumusan (model matematikanya) diharapkan mampu untuk mendapatkan atau sekedar mendekati solusi eksak seakurat-akuratnya. Jadi tingkat kesulitan suatu jenis atau cabang matematika bukan disebabkan oleh jenis atau cabang matematika itu sendiri, tetapi disebabkan oleh sulit dan kompleksnya fenomena yang solusinya diusahakan dicari atau didekati oleh perumusan (model matematikanya) dengan menggunakan jenis atau cabang matematika tersebut (Ayuasnantia, 2008). Matematika memang mempunyai banyak peran dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, setiap masalah dan fenomena yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tidak semuanya dapat diatasi dengan matematika.
C.      Kompetensi Guru
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 8 disebutkan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 10 disebutkan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru pasal 3-6.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan pendidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pemahaman terhadap silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, sportif, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Kompetensi psikologis yang harus dimiliki guru menurut Sugihartono (2007):
1.      Kompetensi Kognitif Guru
Hal utama yang dituntut untuk dari kemampuan kognitif ini adalah adanya fleksibilitas kognitif (keluwesan kognitif). Ini ditandai oleh adanya keterbukaan guru dalam berpikir dan beradaptasi. Dalam proses pembelajaran, guru yang memiliki fleksibilitas kognitif tinggi menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan pembelajaran, responsif terhadap kelas, serta menggunakan bermacam-macam metode yang relevan secara kreatif sesuai dengan sifat materi dan kebutuhan siswa.
2.      Kompetensi Afektif Guru
Secara afektif guru hendaknya memiliki sikap dan perasaan yang menunjang proses pembelajaran yang dilakukannya, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Terhadap orang lain khususnya terhadap anak didik, guru hendaknya memiliki sikap dan sifat empati, ramah dan bersahabat.
3.      Kompetensi Psikomotor Guru
Kompetensi psikomotor seorang guru merupakan keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang dibutuhkan oleh guru untuk menunjang kegiatan profesionalnya sebagai guru. Kecakapan psikomotor ini meliputi kecakapan psikomotor secara umum (duduk, berdiri, berjalan, dan lainnya) dan secara khusus (keterampilan untuk mengekspresikan diri secara verbal maupun nonverbal).
Dalam bidang matematika, kompetensi psikologis di atas mutlak diperlukan. Kompetensi kognitif guru diperlukan dalam hal pemberian materi. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat menguras pikiran. Dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran, materi matematika akan lebih mudah dipahami dan diterima. Siswa juga akan merasa lebih nyaman dan tidak mudah bosan. Kompetensi kognitif juga membantu guru jika di dalam kelas ada berbagai pendapat. Untuk mengerjakan satu soal matematika ada berbagai cara atau rumus yang bisa digunakan. Guru diharuskan memberikan penjelasan kepada semua siswa  tentang perbedaan itu agar siswa tidak bingung mana cara yang benar. Guru yang memiliki kompetensi kognitif yang baik tidak akan bersikap otoriter. Guru yang kompetensi kognitifnya rendah hanya akan memaksakan materi yang dikuasainya saja, dengan kata lain guru tersebut pasti akan berkata ‘pokoknya caranya ini’.
Kompetensi afektif guru yang baik akan membuat hubungan guru dan siswa menjadi lebih harmonis. Guru tidak akan cepat marah jika siswanya sulit sekali memahami materinya. Sebaliknya, dengan penuh kesabaran dan pengertian, guru akan membimbing siswa yang memiliki kemampuan yang kurang agar dapat memahami materinya. Siswa akan merasa senang walaupun tidak bisa mengerjakan soal. Siswa juga tidak akan merasa takut dan benci pada matematika. Siswa justru akan terdorong untuk lebih memahami matematika.
Kompetensi psikomotorik diperlukan guru dalam menggunakan alat peraga matematika. Beberapa materi matematika di sekolah lebih mudah dipahami jika diterangkan menggunakan alat peraga. Pemilihan dan penggunaan alat peraga yang baik akan sangat membantu pemahaman siswa. Siswa juga tidak merasa bosan karena tidak hanya mendengar dan melihat berbagai uraian guru.
Menurut Dwi Siswoyo (2007) guru memiliki prinsip-prinsip profesionalisme sebagai berikut:
a.       profesi guru merupakan profesi yang didasari oleh bakat, minat dan panggilan jiwa dari dalam diri guru tersebut
b.      profesi guru menuntut komitmen tinggi dalam peningkatan mutu pendidikan, akhlak mulia, iman dan takwa
c.       memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang relevan
d.      memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya di sekolah
e.       menuntut tanggung jawab yang tinggi atas tugas profesinya demi kemajuan pendidikan.
Kompetensi memang sangat diperlukan oleh seorang guru dalam melakukan tugasnya di sekolah. Setiap guru harus senantiasa mengasah kompetensinya agar tetap dalam kondisi baik. Selain di pendidikan formal, guru juga bisa mengasah kompetensinya di masyarakat ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
D.      Pembelajaran, Pelatihan, dan Pengajaran
Pembelajaran atau pendidikan tidak bisa disamakan dengan pelatihan. Proses pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan. Andrias Harefa berpendapat bahwa pelatihan adalah pengulangan-pengulangan, repetisi, dan praktik (belajar melakukan). Pelatihan adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari lewat berbagai kursus atau lembaga-lembaga bimbingan. Guru yang memiliki kompetensi yang baik harusnya mengetahui perbedaan ini.
Salah satu penyebab banyak siswa yang tidak suka dengan matematika adalah karena guru yang hanya sekedar melakukan pelatihan. Matematika memiliki banyak sekali rumus, namun jika dipahami dengan benar maka cukuplah untuk mengetahui dasar konsepnya saja. Rumus-rumus yang banyaknya tidak terhitung itu hanyalah cabang dari salah satu konsep. Pada awal pelajaran guru memang memberikan penjelasan tentang konsepnya. Namun, ada siswa yang belum paham dengan tuntas konsepnya, guru tersebut sudah memberikan berbagai soal. Guru berharap dengan sering berlatih soal, maka siswa akan mudah menghafal rumusnya. Akibatnya, siswa hanya terbebani untuk menghafal rumus instannya. Beberapa alasannya antara lain takut tidak bisa mengerjakan jika disuruh mengerjakan di depan kelas dan tidak bisa mengerjakan soal-soal ulangan. Sistem pelatihan tersebut hanya akan membebani siswa. Sistem pelatihan ini juga membuat siswa untuk menerapkan cara belajar “sks” atau sistem kebut semalam.
Andreas juga berkata pengajaran itu menyangkut soal teori, sementara pendidikan itu sepenuhnya soal potensi. Pengajaran akan mengarah pada pola hafalan. Teori-teori ataupun rumus-rumus matematika yang dianggap membosankan oleh sebagian siswa itu dipaksakan oleh guru untuk dimengerti siswa. Guru tidak mau tahu dengan apa yang dimiliki oleh siswa. Guru hanya akan terfokus pada kurikulum ataupun pada tujuan keberhasilan pelajaran seperti mencapai standar ketuntasan minimal. Budi pekerti dan pembentukan karakter hanya dapat dilakukan dengan proses pendidikan.
Jika guru dapat menyatukan dan mengkombinasikan pembelajaran, pelatihan, dan pengajaran dengan baik maka setiap siswa akan berkembang dengan baik pula. Dalam bukunya, Andrias Harefa menulis:
Dalam hal ini saya ingin menambahkan bahwa pembelajaran (belajar menjadi) dan pengajaran (belajar mengetahui), perlu diperkaya dengan pelatihan (belajar melakukan). Proses pembelajaran merupakan proses pembentukan karakter dengan sifat-sifat tersebut di atas, dan melalui proses mengajar-belajar (pengajaran) kita mengetahui hal itu secara sadar (intelek). Peran proses pelatihan adalah membawa karakter dari dalam ke luar (inside out).
E.       Menjadi Guru Matematika Pembelajar
Suparlan (2004: 48-50) memberikan sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman guru matematika dengan delapan tipe kecerdasan.
      Mulai tahun pelajaran 2003, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan sistem Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kebijakan UAN untuk SLTP antara lain adalah (1) ada tiga mata pelajaran yang soalnya dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, yakni mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, (2) peserta didik akan dinyatakan lulus dan berhak memperoleh Surat Tanda Kelulusan (STK) jika berhasil memperoleh nilai di atas 3 untuk ketiga mata pelajaran tersebut.
      Terkait dengan kebijakan tersebut, seorang guru matematika di suatu SLTP merasa putus asa karena ada seorang siswa yang data pribadinya: (1) berjenis kelamin laki-laki dan secara fisikal ganteng, (2) bentuk tulisannya amat bagus, malah lebih bagus dan rapi jika dibandingkan dengan tulisan kebanyakan anak perempuan di kelasnya, (3) rajin dan tekun belajar, dan (4) sayangnya tidak tertarik dan kurang sekali dalam bidang matematika. Guru matematika di SLTP tersebut merasa khawatir terhadap anak tersebut, kalau-kalau nanti tidak lulus gara-gara ia tidak dapat mencapai nilai di atas 3. Sang guru mulai memasang aksi dengan memberikan satu treatment (perlakuan) tertentu terhadap anak ini. Sang guru ini telah mempelajari teori delapan tipe kecerdasan menurut Daniel Goleman. Sang guru sadar benar, bahwa anak tersebut kelihatannya memang kuat dalam tipe kecerdasan “linguistik”, tetapi tidak dalam tipe “logis-matematis”. Oleh karena itu, sang guru juga sadar bahwa akan sulit sekali untuk memaksa anak tersebut dapat menguasai mata pelajaran matematika sebagaimana anak-anak yang memang memiliki tipe kecerdasan logis-matematis. Kesadaran inilah yang menyebabkan ia mulai mengadakan pendekatan terhadap anak tersebut. Katanya kepada siswa tersebut, “Fulan, kelihatannya kamu memang lebih suka terhadap dan kurang suka terhadap matematika. Ibu guru tahu hal ini. Tapi, apakah kamu tidak bisa untuk sedikit berusaha agar nilai matematikamu kelak...,” Sang guru menarik napas dalam-dalam,”ya...minimal 3,1. Karena kamu kan tahu, kalu nilai kamu 3, artinya kamu tidak lulus. Itu kan sayang sekali buat kamu, dan juga buat kami para guru. Ibu berharap kamu akan memperoleh nilai yang amat baik dalam mata pelajaran yang memang kamu sukai, yakni bahasa, katakanlah kamu bisa memperoleh nilai minimal 9. Tetapi, dalam mata pelajaran matematik, ibu berharap cobalah berusaha dapat memperoleh nilai cukup dengan angka 3,1. Itulah yang ibu harapkan kepada kamu”. Dengan sedikit memberikan motivasi kepada anak tersebut, akhirnya sang guru mencoba mulai memberikan dorongan dan bimbingan terhadap anak tersebut. Walhasil, pada akhir UAN, sang anak memang memperoleh nilai 9 dalam mata pelajaran bahasa, dan alhamdulillah anak tersebut dapat memperoleh 3,8 dalam mata pelajaran matematika. Anak ini lulus dengan nilai amat memuaskan dalam mata pelajaran bahasa, dan tidak sampai jatuh dalam mata pelajaran matematika. Guru matematika yang telah mempelajari teori multiple intelligence memahami betul, itulah usaha maksimal yang dapat dilakukan. Itulah advokasi yang dapat diberikan kepada siswanya. Guru matematika mencoba memberikan motivasi dan dorongan agar anak dapat mengembangkan potensinya selaras dengan tipe kecerdasan yang dimiliki peserta didiknya.
Andrias Harefa (2008: 4) berpendapat:
Kesalahan atau bahkan dosa terbesar para guru dan dosen, manajer dan eksekutif perusahaan, serta para pejabat di lembaga-lembaga pemerintahan, adalah terlalu banyak melakukan pengajaran dan pelatihan, namun hampir tidak pernah melakukan pendampingan (mentorship) terhadap siswa, mahasiswa, dan kemudian karyawan atau pegawai negeri, untuk “mengejar” dan mencari jati dirinya sebagai pribadi, lalu sebagai anggota kelompok, dan sebagai bagian dari organisasi, serta sebagai bagian dari sebuah masyarakat bangsa bernama Indonesia, dan akhirnya sebagai manusia warga masyarakat dunia.
Contoh kasus yang diberikan Suparlan merupakan sebagian kecil guru yang tidak melakukan kesalahan seperti yang diungkapkan Andrias Harefa. Saat ini matematika tetap menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian siswa dan juga orang tua. Saat mengetahui nilai matematika siswa rendah, hal yang selanjutnya dilakukan orang tua adalah mencari tempat les, sementara di sekolah ada tambahan pelajaran di sore hari. Semua kegiatan itu hanya akan membuat pikiran siswa semakin terbebani.
Peran guru matematika yang berkompetensi baik sangat diperlukan. Seperti dalam kasus yang diberikan Suparlan, seorang guru matematika yang baik tidak akan memaksakan apa yang diketahuinya kepada siswa. Guru matematika yang terlalu berprioritas pada pengajaran dan pelatihan akan cenderung bersikap otoriter dan terlihat galak. Guru matematika harus belajar tentang dirinya, kemudian belajar untuk menjadi dirnya dan mengekspresikan potensi yang dimilikinya ke dunia luar untuk kemajuan pendidikan, inilah yang dikatakan Andrias Harefa sebagai manusia pembelajar. Andrias Harefa juga mengatakan jika proses pembelajaran untuk menjadi manusia pembelajar hanya bisa dilakukan di sekolah kehidupan.
F.       Kesimpulan
Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan dan juga mata kuliah yang tertua. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat dominan dalam pendidikan formal di Indonesia. Peran guru matematika menjadi sangat penting. Saat ini sebagian besar siswa cenderung tertekan ketika menghadapi matematika. Siswa juga menggunakan berbagai cara hanya untuk sekedar mendapat nilai matematika yang bagus ataupun lulus ujian. Karakter dan orientasi siswa dalam belajar di sekolah juga banyak yang salah. Sikap guru yang tidak tepat menjadi salah satu penyebabnya.
Guru matematika diharapkan mampu mengekspresikan potensi dan juga kompetensinya dalam pendidikan di sekolah. Kemampuan guru yang semakin baik akan menghasilkan output siswa yang bermutu. Dalam kegiatannya di sekolah guru matematika juga harus aktif membentuk karakter ataupun kepribadian siswa. Untuk memperoleh kemampuan ini tidak hanya dengan mengikuti pendidikan akademik di berbagai perguruan tinggi, lebih dari itu. Guru matematika harus mampu menjadi manusia pembelajar. Guru matematika yang senantiasa belajar tentang dan menjadi dirinya, dan melakukan bimbingan terhadap siswanya dengan segenap potensinya.
G.      Daftar Pustaka
Andrias Harefa. 2008. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas
Dwi Siswoyo dkk. 2008. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Nurul Awaludin.2008. The Golden History. Yogyakarta: Elmatera
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
Sugihartono dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Yogyakarta: Hikayat
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Gurudan Dosen serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. 2006. Bandung: Citra Umbarara
Ayuasnantia. 2008. Sejarah Matematika. http://ayuasnantia.student.umm.ac.id/artikel-pendidikan/ [online] diakses 09 Januari 2010, 18:03 WIB
Yusuf Kartanegara. 2010. Sejarah Matematika. http://ucup33.student.umm.ac.id/2010/08/26/sejarah-matemtika/ [online] diakses 09 Januari 2011, 18:03 WIB

No comments:

Post a Comment