Guru Matematika Pembelajar
Wahyu
Kurniawan
09301241029
Pendidikan
Matematika Subsidi 2009
Universitas
Negeri Yogyakarta
A.
Pendahuluan
Matematika
merupakan salah satu disiplin ilmu yang tergolong istimewa. Banyak berbagai
predikat yang diberikan untuk matematika. Matematika adalah dasar bagi
ilmu-ilmu yang lain semisal fisika, akuntansi, ekonomi, kimia, dan sebagainya.
Matematika menjadi mata pelajaran pokok di berbagai jenjang pendidikan.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang di-UAN-kan. Orang yang
pandai dalam bidang matematika dianggap sebagai orang yang berkemampuan tinggi.
Matematika mejadi mata pelajaran yang dianggap menakutkan dan menyulitkan bagi
sebagian siswa. Orang cenderung berpikir tentang angka dan rumus ketika
mendengar kata ‘matematika’.
Pendidikan
di sekolah merupakan salah satu jalan pengenalan matematika. Matematika menjadi
materi dalam pembelajaran pada pendidikan tingkat dasar, menengah dan tinggi.
Ketika sekolah di Taman Kanak-kanak, matematika diajarkan sebagai perhitungan
penjumlahan dan pengurangan dengan berbagai simbol. Saat di Sekolah Dasar,
perkalian dan pembagian mulai dikenalkan, dilanjutkan dengan materi yang lebih
kompleks di Sekolah Menengah Pertama.
Pendidikan
dasar dan menengah pertama merupakan saat yang penting dalam proses pemahaman
matematika. Siswa yang mulai tumbuh dan berkembang menjadi remaja sangat rentan
dengan pengaruh stimulus di sekitarnya. Matematika merupakan mata pelajaran
yang mengandalkan kemampuan otak kiri, yakni kemampuan berpikir logis. Jika
guru matematika tidak memberikan penjelasan dan pemahaman yang memadai, siswa
akan kesulitan menangkap maksud utama materinya. Siswa akan cenderung
menghafalkan dan meniru seperti apa yang dilakukan gurunya. Siswa hanya akan
melihat contoh, tidak mampu untuk memikirkan ide yang lain. Akibatnya bagi
siswa yang memiliki kemampuan rata-rata atau kurang hanya akan tertekan dan
persepsi bahwa matematika itu sulit atau guru matematika itu galak akan mulai
muncul. Kepribadian siswa juga tidak akan terbentuk karena kondidi yang
tertekan. Tingkat kecurangan dalam kegiatan sehari-hari (misal ulangan harian) tetap
tinggi. Saat ujian nasional pun jawaban yang belum tentu kebenarannya juga
banyak dicari siswa. Kompetensi dan pemahaman guru matematika terhadap
matematika itu sendiri dan pembelajaran sangat berpengaruh terhadap minat, persepsi
siswa terhadap matematika dan gurunya. Kepribadian siswa juga nantinya akan
terbentuk sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan gurunya.
B.
Sejarah
dan Peran Matematika
Berbagai
benda ataupun ilmu-ilmu di dunia ini tidak langsung dikenal oleh masyarakat
luas. Berbagai hal itu ditemukan oleh para penemu yang melakukan berbagai
ujicoba, penelitian, pencarian, dan sebagainya. Matematika merupakan salah satu
ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh orang-orang jaman dahulu, mulai dari yang
sederhana hingga yang cukup kompleks. Rasa keingintahuan peneliti yang tinggi
membuat matematika cepat berkembang.
Menurut Yusuf Kartanegara (2010) tulisan matematika
terkuno yang telah ditemukan adalah Plimpton 322 (matematika Babilonia sekitar
1900 SM), Lembaran Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan
Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM). Semua tulisan
itu membahas teorema yang umum dikenal sebagai teorema Pythagoras, yang
tampaknya menjadi pengembangan matematika tertua dan paling tersebar luas setelah
aritmetika dasar dan geometri.
Menurut Nurul Awaluddin (2008) universitas barat
pertama adalah Akademia, didirikan pada tahun 387 SM oleh filsuf Yunani, Plato,
dimana para siswanya diajari filsafat, matematika dan olahraga. Dari keterangan
tersebut dapat diketahui jika matematika adalah mata kuliah yang paling tua.
Matematika memiliki sejarah yang panjang dan juga menarik.
Menurut Ayuasnantia (2008) ada pendapat terkenal
yang memandang matematika sebagai pelayan dan sekaligus raja dari ilmu-ilmu
lain. Sebagai pelayan, matematika adalah ilmu dasar yang mendasari dan melayani
berbagai ilmu pengetahuan lain. Sejak masa sebelum masehi, misalnya jaman Mesir
kuno, cabang tertua dan termudah dari matematika (aritmetika) sudah digunakan
untuk membuat piramida, digunakan untuk menentukan waktu turun hujan, dan
sebagainya. Sebagai raja, perkembangan matematika tak tergantung pada ilmu-ilmu
lain. Banyak cabang matematika yang dulu biasa disebut matematika murni,
dikembangkan oleh beberapa matematikawan yang mencintai dan belajar matematika
hanya sebagai hobi tanpa memperdulikan fungsi dan manfaatnya untuk ilmu-ilmu
lain. Dengan perkembangan teknologi, banyak cabang-cabang matematika murni yang
ternyata kemudian hari bisa diterapkan dalam berbagai ilmu pengetahuan data teknologi
mutakhir. Matematika dapat digunakan dalam teknologi nuklir, konstruksi suatu
bangunan, teknologi robo, konsep aerodinamis pesawat, dan sebagainya.
Secara umum, semakin kompleks suatu fenomena,
semakin kompleks pula alat (dalam hal ini jenis matematika) yang melalui berbagai
perumusan (model matematikanya) diharapkan mampu untuk mendapatkan atau sekedar
mendekati solusi eksak seakurat-akuratnya. Jadi tingkat kesulitan suatu jenis
atau cabang matematika bukan disebabkan oleh jenis atau cabang matematika itu
sendiri, tetapi disebabkan oleh sulit dan kompleksnya fenomena yang solusinya
diusahakan dicari atau didekati oleh perumusan (model matematikanya) dengan
menggunakan jenis atau cabang matematika tersebut (Ayuasnantia, 2008).
Matematika memang mempunyai banyak peran dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun, setiap masalah dan fenomena yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari tidak semuanya dapat diatasi dengan matematika.
C.
Kompetensi
Guru
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pasal 8 disebutkan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 10 disebutkan
kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi
tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru pasal 3-6.
Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik
yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan pendidikan, pemahaman
terhadap peserta didik, pemahaman terhadap silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
Kompetensi
kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang beriman dan bertakwa, berakhlak
mulia, arif dan bijaksana, demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur,
sportif, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi
sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang
sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk berkomunikasi lisan, tulis,
dan/atau isyarat secara santun, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi
secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali
peserta didik, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan
mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan menerapkan prinsip
persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi
profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang
sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: materi pelajaran secara luas dan
mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan konsep dan metode disiplin
keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi
atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Kompetensi
psikologis yang harus dimiliki guru menurut Sugihartono (2007):
1. Kompetensi
Kognitif Guru
Hal utama yang dituntut untuk dari kemampuan
kognitif ini adalah adanya fleksibilitas kognitif (keluwesan kognitif). Ini
ditandai oleh adanya keterbukaan guru dalam berpikir dan beradaptasi. Dalam
proses pembelajaran, guru yang memiliki fleksibilitas kognitif tinggi
menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan pembelajaran, responsif terhadap
kelas, serta menggunakan bermacam-macam metode yang relevan secara kreatif
sesuai dengan sifat materi dan kebutuhan siswa.
2. Kompetensi
Afektif Guru
Secara afektif guru hendaknya memiliki sikap dan
perasaan yang menunjang proses pembelajaran yang dilakukannya, baik terhadap
orang lain maupun terhadap diri sendiri. Terhadap orang lain khususnya terhadap
anak didik, guru hendaknya memiliki sikap dan sifat empati, ramah dan
bersahabat.
3. Kompetensi
Psikomotor Guru
Kompetensi
psikomotor seorang guru merupakan keterampilan atau kecakapan yang bersifat
jasmaniah yang dibutuhkan oleh guru untuk menunjang kegiatan profesionalnya
sebagai guru. Kecakapan psikomotor ini meliputi kecakapan psikomotor secara
umum (duduk, berdiri, berjalan, dan lainnya) dan secara khusus (keterampilan
untuk mengekspresikan diri secara verbal maupun nonverbal).
Dalam bidang matematika, kompetensi
psikologis di atas mutlak diperlukan. Kompetensi kognitif guru diperlukan dalam
hal pemberian materi. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat menguras
pikiran. Dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran, materi matematika
akan lebih mudah dipahami dan diterima. Siswa juga akan merasa lebih nyaman dan
tidak mudah bosan. Kompetensi kognitif juga membantu guru jika di dalam kelas
ada berbagai pendapat. Untuk mengerjakan satu soal matematika ada berbagai cara
atau rumus yang bisa digunakan. Guru diharuskan memberikan penjelasan kepada
semua siswa tentang perbedaan itu agar
siswa tidak bingung mana cara yang benar. Guru yang memiliki kompetensi
kognitif yang baik tidak akan bersikap otoriter. Guru yang kompetensi kognitifnya
rendah hanya akan memaksakan materi yang dikuasainya saja, dengan kata lain
guru tersebut pasti akan berkata ‘pokoknya caranya ini’.
Kompetensi afektif guru yang baik akan
membuat hubungan guru dan siswa menjadi lebih harmonis. Guru tidak akan cepat
marah jika siswanya sulit sekali memahami materinya. Sebaliknya, dengan penuh
kesabaran dan pengertian, guru akan membimbing siswa yang memiliki kemampuan
yang kurang agar dapat memahami materinya. Siswa akan merasa senang walaupun
tidak bisa mengerjakan soal. Siswa juga tidak akan merasa takut dan benci pada
matematika. Siswa justru akan terdorong untuk lebih memahami matematika.
Kompetensi psikomotorik diperlukan guru
dalam menggunakan alat peraga matematika. Beberapa materi matematika di sekolah
lebih mudah dipahami jika diterangkan menggunakan alat peraga. Pemilihan dan
penggunaan alat peraga yang baik akan sangat membantu pemahaman siswa. Siswa
juga tidak merasa bosan karena tidak hanya mendengar dan melihat berbagai
uraian guru.
Menurut
Dwi Siswoyo (2007) guru memiliki prinsip-prinsip profesionalisme sebagai
berikut:
a. profesi
guru merupakan profesi yang didasari oleh bakat, minat dan panggilan jiwa dari
dalam diri guru tersebut
b. profesi
guru menuntut komitmen tinggi dalam peningkatan mutu pendidikan, akhlak mulia,
iman dan takwa
c. memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan yang relevan
d. memiliki
kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya di sekolah
e. menuntut
tanggung jawab yang tinggi atas tugas profesinya demi kemajuan pendidikan.
Kompetensi memang sangat diperlukan oleh
seorang guru dalam melakukan tugasnya di sekolah. Setiap guru harus senantiasa
mengasah kompetensinya agar tetap dalam kondisi baik. Selain di pendidikan
formal, guru juga bisa mengasah kompetensinya di masyarakat ataupun dalam
kehidupan sehari-hari.
D. Pembelajaran, Pelatihan, dan
Pengajaran
Pembelajaran
atau pendidikan tidak bisa disamakan dengan pelatihan. Proses pembelajaran
tidak dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan. Andrias Harefa berpendapat
bahwa pelatihan adalah pengulangan-pengulangan, repetisi, dan praktik (belajar
melakukan). Pelatihan adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari lewat
berbagai kursus atau lembaga-lembaga bimbingan. Guru yang memiliki kompetensi
yang baik harusnya mengetahui perbedaan ini.
Salah
satu penyebab banyak siswa yang tidak suka dengan matematika adalah karena guru
yang hanya sekedar melakukan pelatihan. Matematika memiliki banyak sekali
rumus, namun jika dipahami dengan benar maka cukuplah untuk mengetahui dasar
konsepnya saja. Rumus-rumus yang banyaknya tidak terhitung itu hanyalah cabang
dari salah satu konsep. Pada awal pelajaran guru memang memberikan penjelasan
tentang konsepnya. Namun, ada siswa yang belum paham dengan tuntas konsepnya,
guru tersebut sudah memberikan berbagai soal. Guru berharap dengan sering
berlatih soal, maka siswa akan mudah menghafal rumusnya. Akibatnya, siswa hanya
terbebani untuk menghafal rumus instannya. Beberapa alasannya antara lain takut
tidak bisa mengerjakan jika disuruh mengerjakan di depan kelas dan tidak bisa
mengerjakan soal-soal ulangan. Sistem pelatihan tersebut hanya akan membebani
siswa. Sistem pelatihan ini juga membuat siswa untuk menerapkan cara belajar
“sks” atau sistem kebut semalam.
Andreas
juga berkata pengajaran itu menyangkut soal teori, sementara pendidikan itu
sepenuhnya soal potensi. Pengajaran akan mengarah pada pola hafalan.
Teori-teori ataupun rumus-rumus matematika yang dianggap membosankan oleh sebagian
siswa itu dipaksakan oleh guru untuk dimengerti siswa. Guru tidak mau tahu
dengan apa yang dimiliki oleh siswa. Guru hanya akan terfokus pada kurikulum
ataupun pada tujuan keberhasilan pelajaran seperti mencapai standar ketuntasan
minimal. Budi pekerti dan pembentukan karakter hanya dapat dilakukan dengan
proses pendidikan.
Jika guru dapat menyatukan dan
mengkombinasikan pembelajaran, pelatihan, dan pengajaran dengan baik maka
setiap siswa akan berkembang dengan baik pula. Dalam bukunya, Andrias Harefa menulis:
Dalam
hal ini saya ingin menambahkan bahwa pembelajaran (belajar menjadi) dan pengajaran (belajar mengetahui), perlu diperkaya dengan pelatihan (belajar melakukan). Proses pembelajaran
merupakan proses pembentukan karakter dengan sifat-sifat tersebut di atas, dan
melalui proses mengajar-belajar (pengajaran) kita mengetahui hal itu secara
sadar (intelek). Peran proses pelatihan adalah membawa karakter dari dalam ke
luar (inside out).
E. Menjadi Guru Matematika Pembelajar
Suparlan (2004: 48-50) memberikan sebuah
pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman guru matematika dengan delapan
tipe kecerdasan.
Mulai tahun pelajaran 2003, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional
menerapkan sistem Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP). Sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan
(SMK). Kebijakan UAN untuk SLTP antara lain adalah (1) ada tiga mata pelajaran
yang soalnya dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, yakni mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, (2) peserta didik akan
dinyatakan lulus dan berhak memperoleh Surat Tanda Kelulusan (STK) jika
berhasil memperoleh nilai di atas 3 untuk ketiga mata pelajaran tersebut.
Terkait dengan kebijakan tersebut,
seorang guru matematika di suatu SLTP merasa putus asa karena ada seorang siswa
yang data pribadinya: (1) berjenis kelamin laki-laki dan secara fisikal
ganteng, (2) bentuk tulisannya amat bagus, malah lebih bagus dan rapi jika
dibandingkan dengan tulisan kebanyakan anak perempuan di kelasnya, (3) rajin
dan tekun belajar, dan (4) sayangnya tidak tertarik dan kurang sekali dalam
bidang matematika. Guru matematika di SLTP tersebut merasa khawatir terhadap
anak tersebut, kalau-kalau nanti tidak lulus gara-gara ia tidak dapat mencapai
nilai di atas 3. Sang guru mulai memasang aksi dengan memberikan satu treatment (perlakuan) tertentu terhadap
anak ini. Sang guru ini telah mempelajari teori delapan tipe kecerdasan menurut
Daniel Goleman. Sang guru sadar benar, bahwa anak tersebut kelihatannya memang
kuat dalam tipe kecerdasan “linguistik”, tetapi tidak dalam tipe
“logis-matematis”. Oleh karena itu, sang guru juga sadar bahwa akan sulit
sekali untuk memaksa anak tersebut dapat menguasai mata pelajaran matematika
sebagaimana anak-anak yang memang memiliki tipe kecerdasan logis-matematis.
Kesadaran inilah yang menyebabkan ia mulai mengadakan pendekatan terhadap anak
tersebut. Katanya kepada siswa tersebut, “Fulan, kelihatannya kamu memang lebih
suka terhadap dan kurang suka terhadap matematika. Ibu guru tahu hal ini. Tapi,
apakah kamu tidak bisa untuk sedikit berusaha agar nilai matematikamu
kelak...,” Sang guru menarik napas dalam-dalam,”ya...minimal 3,1. Karena kamu
kan tahu, kalu nilai kamu 3, artinya kamu tidak lulus. Itu kan sayang sekali
buat kamu, dan juga buat kami para guru. Ibu berharap kamu akan memperoleh
nilai yang amat baik dalam mata pelajaran yang memang kamu sukai, yakni bahasa,
katakanlah kamu bisa memperoleh nilai minimal 9. Tetapi, dalam mata pelajaran
matematik, ibu berharap cobalah berusaha dapat memperoleh nilai cukup dengan
angka 3,1. Itulah yang ibu harapkan kepada kamu”. Dengan sedikit memberikan
motivasi kepada anak tersebut, akhirnya sang guru mencoba mulai memberikan
dorongan dan bimbingan terhadap anak tersebut. Walhasil, pada akhir UAN, sang
anak memang memperoleh nilai 9 dalam mata pelajaran bahasa, dan alhamdulillah anak tersebut dapat
memperoleh 3,8 dalam mata pelajaran matematika. Anak ini lulus dengan nilai
amat memuaskan dalam mata pelajaran bahasa, dan tidak sampai jatuh dalam mata
pelajaran matematika. Guru matematika yang telah mempelajari teori multiple intelligence memahami betul,
itulah usaha maksimal yang dapat dilakukan. Itulah advokasi yang dapat
diberikan kepada siswanya. Guru matematika mencoba memberikan motivasi dan
dorongan agar anak dapat mengembangkan potensinya selaras dengan tipe
kecerdasan yang dimiliki peserta didiknya.
Andrias Harefa (2008: 4) berpendapat:
Kesalahan
atau bahkan dosa terbesar para guru dan dosen, manajer dan eksekutif
perusahaan, serta para pejabat di lembaga-lembaga pemerintahan, adalah terlalu
banyak melakukan pengajaran dan pelatihan, namun hampir tidak pernah melakukan
pendampingan (mentorship) terhadap
siswa, mahasiswa, dan kemudian karyawan atau pegawai negeri, untuk “mengejar”
dan mencari jati dirinya sebagai pribadi, lalu sebagai anggota kelompok, dan
sebagai bagian dari organisasi, serta sebagai bagian dari sebuah masyarakat
bangsa bernama Indonesia, dan akhirnya sebagai manusia warga masyarakat dunia.
Contoh
kasus yang diberikan Suparlan merupakan sebagian kecil guru yang tidak melakukan
kesalahan seperti yang diungkapkan Andrias Harefa. Saat ini matematika tetap
menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian siswa dan juga orang tua.
Saat mengetahui nilai matematika siswa rendah, hal yang selanjutnya dilakukan
orang tua adalah mencari tempat les, sementara di sekolah ada tambahan
pelajaran di sore hari. Semua kegiatan itu hanya akan membuat pikiran siswa
semakin terbebani.
Peran
guru matematika yang berkompetensi baik sangat diperlukan. Seperti dalam kasus
yang diberikan Suparlan, seorang guru matematika yang baik tidak akan
memaksakan apa yang diketahuinya kepada siswa. Guru matematika yang terlalu
berprioritas pada pengajaran dan pelatihan akan cenderung bersikap otoriter dan
terlihat galak. Guru matematika harus belajar tentang dirinya, kemudian belajar
untuk menjadi dirnya dan mengekspresikan potensi yang dimilikinya ke dunia luar
untuk kemajuan pendidikan, inilah yang dikatakan Andrias Harefa sebagai manusia
pembelajar. Andrias Harefa juga mengatakan jika proses pembelajaran untuk
menjadi manusia pembelajar hanya bisa dilakukan di sekolah kehidupan.
F. Kesimpulan
Matematika
adalah salah satu ilmu pengetahuan dan juga mata kuliah yang tertua. Matematika
merupakan mata pelajaran yang sangat dominan dalam pendidikan formal di
Indonesia. Peran guru matematika menjadi sangat penting. Saat ini sebagian
besar siswa cenderung tertekan ketika menghadapi matematika. Siswa juga
menggunakan berbagai cara hanya untuk sekedar mendapat nilai matematika yang
bagus ataupun lulus ujian. Karakter dan orientasi siswa dalam belajar di
sekolah juga banyak yang salah. Sikap guru yang tidak tepat menjadi salah satu
penyebabnya.
Guru
matematika diharapkan mampu mengekspresikan potensi dan juga kompetensinya
dalam pendidikan di sekolah. Kemampuan guru yang semakin baik akan menghasilkan
output siswa yang bermutu. Dalam kegiatannya di sekolah guru matematika juga
harus aktif membentuk karakter ataupun kepribadian siswa. Untuk memperoleh
kemampuan ini tidak hanya dengan mengikuti pendidikan akademik di berbagai
perguruan tinggi, lebih dari itu. Guru matematika harus mampu menjadi manusia
pembelajar. Guru matematika yang senantiasa belajar tentang dan menjadi
dirinya, dan melakukan bimbingan terhadap siswanya dengan segenap potensinya.
G. Daftar Pustaka
Andrias
Harefa. 2008. Menjadi Manusia Pembelajar.
Jakarta: Kompas
Dwi
Siswoyo dkk. 2008. Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press
Nurul
Awaludin.2008. The Golden History.
Yogyakarta: Elmatera
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
Sugihartono
dkk. 2007. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press
Suparlan.
2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Yogyakarta: Hikayat
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Gurudan Dosen serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. 2006. Bandung: Citra
Umbarara
Ayuasnantia. 2008. Sejarah Matematika. http://ayuasnantia.student.umm.ac.id/artikel-pendidikan/ [online] diakses 09 Januari 2010, 18:03 WIB
Yusuf Kartanegara. 2010. Sejarah Matematika. http://ucup33.student.umm.ac.id/2010/08/26/sejarah-matemtika/ [online] diakses 09 Januari 2011, 18:03 WIB
No comments:
Post a Comment